Kehidupan anak-anak sokorame memang tiada hentinya. Selalu saja banyak
hal yang dikerjakan. Apalagi ketika libur setalah enam hari penuh
digunakan untuk belajar di MI Muhammadiyah sokorame tiba.
Sebuah sekolah yang Nampak masih berbangunan baru. Batu-batu merah yang keras masih kelihatan kokoh dan indah. Lantai yang tak berkramik terasa kasar ketika bersentuhan dengan saraf-saraf kaki yang telanjang. Meja-meja berwarna coklat tua yang juga masih terlihat cukup bagus. Dan pohon-pohon rindang yang memberikan keteduhan bagi murid-murid MI Muhammadiyah Sokorame. Di sebelah tengah halaman sekolah yang menghadap ke arah kiblat, terdapat sebuah pohon trembesi besar yang entah sudah berapa umurnya. Di sebelah utara terdapat pohon beringin kurus yang menjulang ke langit-langit alam.
Sebuah sekolah yang Nampak masih berbangunan baru. Batu-batu merah yang keras masih kelihatan kokoh dan indah. Lantai yang tak berkramik terasa kasar ketika bersentuhan dengan saraf-saraf kaki yang telanjang. Meja-meja berwarna coklat tua yang juga masih terlihat cukup bagus. Dan pohon-pohon rindang yang memberikan keteduhan bagi murid-murid MI Muhammadiyah Sokorame. Di sebelah tengah halaman sekolah yang menghadap ke arah kiblat, terdapat sebuah pohon trembesi besar yang entah sudah berapa umurnya. Di sebelah utara terdapat pohon beringin kurus yang menjulang ke langit-langit alam.
Terlihat Rahmat keluar dari kelasnya, di belakangnya menyusul Faizol dan Amir. Kemudian dari kelas sebelahnya keluar Arsad. Kakak kelas Rahmat yang sudah menginjak kelas 5 MI. Arsad dan Amir adalah shabat yang sering bermain bersama walau berbeda kelas.
“ Rahmat ..” teriak Arsad dengan suara pendekarnya dari belakang.
Rahmat menoleh mencari sumber suara yang sudah tidak asing di memori kepalannya “ oh, kamu San, ada apa ?” Tanya penuh penasaran sambil memainkan pulpen warna-warninya di tanggan.
“Besuk kan libur, kamu mau kemana ?..” Tanya Arsad dengan gayannya yang serius.
“Ngak kemana-mana San, mungkin aku akan bantu-bantu Bapak di Sawah” jawab Rahmat dengan suara datar dan tenang bagai air laut yang tak terjamah ganasnya badai laut.
“kalo begitu bagaimana kalau besok pagi kita mencari buah ental ?.” Tawar Arsad dengan mimik ragu ajakannya ditolak.
“kemana ?”. Tanyak Rahmat. “ke sawa yang ada di uatara desa mat, disana banyak sekali pohon ental yang sedang berbuah” ,jawab Arsad.
Setelah bersepakat untuk pergi besok ketika matahari sudah mulai melesat jauh ke tengah-tengah langit. Keduannya berjalan masing-masing menuju parkiran. Rahmat menuju parkiran yang ada di sebelah selatan pohon trembesi dan Arsad menuju parkiran yang ada di sebelah utara gedung Madrasah.
Dengan sabar Rahmat mengayuh sepedannya menuju rumahnya yang berjarak sekitar 3 ratusan meter dari madrasah tempatnya menuntut ilmu.
Menyusuri jalanan yang bebatu dan tajam, mengharuskan Rahmat untuk hati-hati agar ban sepedannya tidak pecah.
Rahmat sampai di depan rumahnya, menyandarkan sepeda ontelnya di antara tiang-tiang panjang bendera merah putih di depan rumahnya.
“Assalamu’alaiku.” Rahmat melontarkan salam untuk membangunkan saraf-saraf orang yang ada di rumahnya. “waalaikumus salam“, sahut ibunya dari dalam rumah yang sedang sibuk membuat kue tape untuk dijual di pasar.
“bapak kemana buk ?”. tanyak Rahmat ke ibunya. “ lagi di sawah belakang rumah mat, ada apa ?”. jawab ibunya sambil mengajukan pertannyaan. “ ngak apa-apa buk. Buk, bole ngak aku besok pergi sama Arsad ke sawa ?”.. tanya Rahmat dengan cemas tidak mendapat izin dari ibunya.
“tumben kamu minta izin, biasanya kamu kan juga tiap hari ke sawah..” sindir ibunya yang sedang menghaluskan ragi tape di atas sebuah papan kecil dari kayu jati. “ tapi besok aku mau pergi ke sawah yang ada di utara desa buk.”. terang Rahmat kepada ibunya. “ya uda, ngak apa-apa. Tapi jangan kasih tau bapak mu ya, kalo bapakmu sampai tau, bapak ngak akan ngasi izin kamu.” Dengan nada datar dan kalemnya seorang ibu kepada anaknnya.
Matahari masih malu untuk menampakkan keindahannya yang elok diantara rimbunnya batang-batang bambu yang tinggi menjulang dengan suara khasnya “kriyeet-kriyeet” akibat hembusan angin-angin pagi yang sejuk dan menebar aroma positif. Rahmat mulai mandi dan mempersiapkan sebilah sabit yang sudah diasanya sehari sebulumnya untuk digunakan membela kerasnya buah-buah ental yang lenzat.
Kring…kring…. Suara bel sepeda ontel berbunyi merdu bagai lonceng sawah yang tertiup angin yang digunakan para petani untuk mengusir hama-hama padi. “Rahmat….Rahmat….” sahut suara yang sama sekali tidak asing di telingga Rahmat. “ iya san, tunggu sebentar, akau mau mengisi botol air minumku dulu” sahut Rahmat dari dalam rumah.
Dengan membawa sabit yang diselipkan diantara sadel depan dan sadel belakang, serta air minum yang di gantung ditenggah-tengah stang sepeda, Rahmat mulai mengarahkan sepeda kesayangannya menuju tiga orang yang sudah ada di panggung sebelah kiri rumahnya.
“ Rasyid, kamu ikut juga ?” dengan nada ngeledek Rahmat bertanyak kepada Rasyid. Maklum Rasyid adalah anak yang jarang sekali pergi kesawah. Sebab bapaknya adalah seorang perangkat desa. Jadi setiap hari Rasyid hanya menghabiskan waktunya untuk main di sekitar rumah dan les matematika di rumah bu sulatri. Guru matematika di MI Muhammadiyah sokorame.
“terus faisol mana mir ?” tanya Rahmat kepada sahabat sekelasnya Amir. “ kamu ini kayag ngak tahu Amir saja. Diakan anak seorang pegawai kantoran di luar kota, masak mau pergi ke sawah. Nanti gatal-gatal malah kita yang repot.” Jawab Amir dengan serono sambil tertawa dan menepuk bahu Rahmat.
“ ya uda ayo kita berangkat, Rahmat, sepedaku aku taruh di panggung ini saja. Biar aku yang memboncengmu. Dan Amir sama Rasyid”. saran Arsad kepada ketiganya.
“ baiklah, aku naik. Tapi jangan cepat-cepat ya mengayuhnya. Nanti bisa masuk got lagi”. pesan Rahmat kepada Arsad dengan nada takut sebab beberapa hari yang lalu mereka berdua hampir saja nubruk anak kepala desa, izzatun, yang sedang bermain sama adik kecilnya, sulaiman, di depan rumahnya.
“ santai sajalah” jawa Arsad dengan santainnya.
“ Amir, kamu apa aku yang di depan, badanku ngak kuat lho kalo harus mbonceng kamu!”. Sahut Rasyid kepada Amir dengan nada memelas sambil menunjukkan kecilnya tubuhnya. “ hala, kamu ini ada-ada saja. Baiklah jangan khawati, asal kamu nanti pegangan erat biar ngak jatuh ketiup angin”. Jawab Amir dengan nada sedikikit meledek.
Rahmat, Arsad, Rasyid dan Amir mulai mengayuh sepeda ontel, mereka menyusuri jalanan yang tak berbatu yang mengarah ke arah utara desa mereka. Beruntung hujan semalam sebelumnya tidak terlalu deras sehingga tidak terlalu becek. Biasannya jalan keluar desa yang mengara ke utara ini akan sangat sulit dilalui ketika selesai turun hujan. Jalanan akan licin. Tanah berlumpur yang agak liat akan menempel di ban-ban sepeda sehingga sepeda tidak bisa bergerak dan memaksa siempunya untuk memikulnya.
Sepanjang perjalanan, keempatnya menikmati keindahan desa mereka. Melewati sendang wedok, kemudian melewati sendang lanang. Diteruskan melewati daerah sumber terbesar desa tersebut. yang secara arif turun-temurun mereka menamainya dengan beranak. Singkatan dari kata sumber dan beranak. Konon ditempat itu banyak sekali makhluk halus yang dipercaya warga memberikan perlindungan bagi desa mereka. Yang melindungi warga desannya dari bala dan bencana.
Setelah melewat kawasan beranak. Rahmat, Arsad, Amir dan Rasyid melewati sebuah pemakaman keluarga yang nampa indah karena ada bangunan seperti rumah di atasnya. Sesepuh masyarakat Desa Sokorame mengatahkan bahwa makam itu adalah makam seorang kiyai yang dulu hidup di daerah tersebut. karena saking terkenalnya sang kiyai, sehingga setiap tahun makam tersebut dijadikan masyarakat baik dari desa Sokorame maupun dari desa-desa tengangganya untuk berziarah dan memanjatkan do’a di kuburan tersebut.
Pesona alam dan keindahan serta adat istiada yang ada di desa sokorame memang mempesona. Menjatuhkan hati setiap jiwa yang perna melawatinya. Meremas sanubari orang yang memandangnya untuk berlama-lamaan di sana. Indah sekali. Di sebelah timur desa terdapat sungai kecil yang menjadi pengkal kehidupan tanaman-tanaman para petani di musim kemarau. Di sebelah timurnya lagi terhampar pulahan hektar sawah dengan ribuan bulir padi yang mulai menguning, dengan berbagai macam orang-orangan sawah yang difungsikan untuk mengusir hama burung-burung kecil. Di sebelah timur hamparan sawah terdapat hutan dengan berbagai macam konposisi tumbuhannya. Kayu-kayu tuannya selalu memberi asap dapur. Dedaunannya selalu menentramkan kambing-kambing peliharaan warga. Ubi-ubian gadung yang begitu banyak selalu menyibukkan warga untuk mengolahnya menjadi kerupuk gurih dan renyah. Berbagai macam burung, ayam hutan, bahkan kijang, selalu bersliweran dan bersahutan suara. Begitu indah dan begitu mempesona.
Di sebelah selatan desa, terdapat waduk besar peninggalan kerajaan belanda. Yang ikan-ikannya selalu memberikan nilai tambah bagi warga. Di sebelah barat terdapat gua-gua bersejarah, yang di dalamnya terdapat berbagai peninggalan sejarah warisan leluhur desa. Dan konon gua-gua ini dijadikan sebagi tempat persembunyian warga Desa Sokorame dan sekitarnya dari serbuan kompeni-kompeni belanda.
Setelah menyusuri keindahan desannya, Rahmat, Arsad, Amir dan Rasyid, akhirnya tiba di tempat yang mereka rencanakan. Area persawahan dengan tanah khsanya yang berwarna merah kehitam-hitaman. Pohon-pohon ental berderet terlihat angkuh dari kejauhan.
“ Kita sudah sampai, ayo cepat turun, jangan diam saja”. Teriak Arsad kepada Rahmat yang sedang melamun merasakan keindahan desanya. “Ah, kamu ini ngagetin saja” cela Rahmat.
“mana pohon ental mu Arsad ?” tanya Rasyid kepada Arsad dengan lugunnya karena masih bingung dengan banyaknya pohon ental yang berjajar menjulang.
“siapa yang bilang aku punya pohon ental ?. Arsad balik bertanyak kepada Rasyid. Berdepatan pun dimulai. “terus kalau kamu ngak punya pohon ental, kita ngapain ke sini ?”. sahut Rahmat. “ya nyari ental lah, masak nyari kodok, !” balas Arsad dengan nada meninggi.
“jadi maksudmu kita akan mencuri gitu ?”. tanya Amir kepada Arsad dengan nada dan mimik tidak percayah. “ bukan, kita tidak akan mencuri. Kita hanya mengambil. Toh yang punyak ngak bakalan bisa manjat pohon segitu tingginya !” seru Arsad dengan nada meremehkan siempunya pohon ental.
“ uda, kalian masi mau ikut apa ngak ?. kalau ngak juga ngak apa-apa”. saran Arsad ke tiga temannya. “ yaudahlah Rahmat, betul juga lho kata Arsad, yang punya ngak bakalan bisa manjat. La wong pohonnya saja tingginya kaya tower telfon di samping rumahku !”. dengan nada menyakinkan Rasyid membujuk Rahmat.
“ya udahlah baik, aku menurut saja, terus kita mau manjat pohon yang mana ni ?”, tanya Rahmat kepada Arsad. “Kita ke arah timur saja dulu, nanti kalau ngambil di sini bisa kelihatan orang”. Jawaban Arsad makin membuat Rahmat menyesal telah mau diajak Arsad. Dalam benaknya Rahmat tidak akan mau lagi mau kalau diajak Arsad.
Ke empatnya mulai menyusuri jalanan-jalanan sempit seukuran setengah meter yang memisahkan petak yang satu dengan petak yang lainnya. Setelah sekita 50 meter berjalan. Mereka menyeberangi sungai yang tidak terlalu dalam dengan air kiriman dari desa tentangga yang sangat deras. Sampai-sampai jembatan yang biasa digunakan warga hanyut oleh sapuan air bah yang dasyat tersebur.
“ Bagaimana ini Arsad, kita maun nyebrang ?”. tanyak Amir kepada Arsad. “ tentu saja, ini sungainya kan dangkal, hanya setinggi perut kita”. jawab Arsad dengan nada tanpa dosa sama sekali. “ayo kita gandengan tangan”. seru Rasyid kepada ketiga temannya. Rahmat masih saja kesal dan tidak memberikan pendapat apapun dan hanya mengikuti ketiga temannya melangkah.
Ketinganya bergandengan tangan dengan erat, mulailah kaki-kaki mungil mereka, mereka pijakkan pada lumpur bercampur bebatuan kecil yang ada di dasar sungai. Dengan saling berpegangan erat kempatnya akhirnya sampai di ujung sungai.
“nah, itu banyak pohon ental. Kebetulan juga lagi ada air bah, sehingga yang punya tidak mungkin datang ke sini”. Jawan Arsad dengan nada yang begitu yakin. Seyakin mereka bisa melewati sungai di belakangnya.
Mulailah keempatnya mencari pohon yang memiliki buah muda. Satu persatu pohon ental yang rata-rata berketinggian 20 meter itu diperiksa. Semak-semak yang menghalangi langkah mereka, mereka sabet dengan sabit-sabit tajam yang dibawa. Rerumputan gajah yang tinggi menjulang dengan rasa gatal jika tak terbiasa, sama sekali tidak dihiraukan. Rerumputan kecil yang biasa digunakan untuk pakan kambing atau ternak yang masih basa akibat hujan tidak mengentarkan langkah mereka.
Setelah lama mencari, mereka belum juga mendapatkan pohon yang diinginkan. Berbuah muda yang banyak, tidak terlalu tinggi, dan sekirannya muda untuk dipanjat. Maklum mereka masi anak belasan tahun yang juga ada rasa takutnya untuk memanjat pohon setinggi 10-20 meter tanpa pengaman sama sekali.
Lelah mulai merambah, tetes-tetes keringat bercucuran. Nafas sesekali mengambil udara begitu dalam. Namun lelahnya tubuh bisa terobati dengan angin yang keluar dari cela-cela pohon bambu yang mengitari sisi kanan dan kiri sungai yang mereka sebrangi.
Lapar mulai menusuk-nusuk lambung, sejak matahari masih malu untuk keluar, hingga matahari suda berada di tengga langit Membentuk bayangan tubuh yang persisi di bawah kaki. Tidak ada panjang ke kanan maupun kekiri, mereka belum makan.
“Aku sudah mulai lapar ni!”. Rasyid memecah kesunyian dengan nada manjanya. “iya aku juga”. sahut Amir. Rahmat masi terdiam membisu, berenang-renang di samudra penyesalan. “bagaimana kalau kita nyari buah nangka dulu”. Usul Arsad dengan nada senang dan wajah semringah sambil melihat sebuah pohon nangka 10 meter dari gunug tempat mereka istirahat.
“Maksudmu kamu juga akan nyuri nangka ?”. tanyak Rahmat dengan nada dan mimik yang masih kesal. “ya kalau untuk menganjal perut si ngak apa-apa”. Arsad menimpali pertanyaan Rahmat dengan nada tanpa dosa. “ kamu ini gimana sih, tadi kamu uda bikan kita terpaksa untuk mengikutimu mencuri etal, sekarang kamu mau mengaja kita mencuri nangka, kamu memang….”. Belum selesai Rahmat mengungkapkan kemarahannya dengan nada yang meledak Amir memotong perkataan Rahmat, “ sudalah mat, jangan emosi melulu, lebih baik kita ambil saja nangka itu, dari pada nanti kedahulan sama anak-anak yang lainnya. Merekakan juga hobinnya njarah ental dan nagka…” , terang Amir kepada Rahmat.
Dalam hatinya Rahmat bergumam “ brengsek sekali kau Arsad, aku bersumpah tidak akan perna mau mengikutimu lagi setelah ini”. Arsad mulai berdiri, memakai sandalnnya yang dilepasnya untuk dijadikan tempat duduk. Kemudian mengambil sabitnya yang ditancapkan pada salah satu pohon ental yang akan mereka panjat.
Arsad berjalan menuju pohon nangka yang sedari tadi sudah diincarnya. Dengan tangas dan gesit, Arsad langsung melompat ke dahan pertama yang Nampak besar dan kuat. Selanjutnya Arsad mengangkat kaki kanannya ke dahan yang ada di atasnya dengan tangan kanan berpegang pada ranting-ranting daun dan tangan kirinya memegan sabit yang akan digunakannya untuk memotong buah nangka yang diincarnya.
Amir dan Arsad menyusul dari belakan dengan membawa karung yang akan digunakan untuk membungkus nangka dan membawanya ke gubug tempat mereka mengurai lelah. Sementara Rahmat hanya bersanda termenung menyesali semua yang menimpahnya hari ini.
“ tangkap ini …!” teriak Arsad dari atas pohon kepada Amir dan Rasyid yang berada di bawahnya. “ satu…dua….tiga…..” Arsad melepaskan nangka dari tangannya dan mengarahkan ke arah karung yang sudah dipengan ujung-ujungnya oleh Amir dan Rasyid dengan kuat dan siaga.
Bluk……. Nangkah tepat mengarah ke arah karung, namun karena beratnya yang mungkin mencapai 10 kg, Amir dan Rasyid tidak mampu menangkap nangka itu dengan baik. Walhasil nagkah jatuh ke tanah dan langsung remuk. Aroma harum nangka langsung menerobos dari cela-cela kulit nangka yang terpecah. Arsad yang masih di atas pohon langsung melompat tanpa berpegangan apapun setelah menjatuhkan sabitnya ke tanah terlebih dahulu.
Nangka yang berantakan di tanah dipungut oleh Amir dan Rasyid satu persatu. Memindahkannya ke karung yang mereka gunakan untuk menangkap nangka tersebut. seteleh semua terkumpul, keduanya membawa nangka itu ke gubug tempat mereka beristirahat.
Dengan serakahnya Rasyid langsung memisahkan daging-daging kuning nangka dari biji-biji pahitnya dengan gigi depannya yang Nampak baru tumbuh setelah gigi pertamannya lepas, dan langsung menelannya setelah satu atau dua kunyahan. Sementara Amir, Rasyid dan Arsad menikmati manis dan harumnya buah nangka yang masak di atas pohon, yang harumnya menyengat bermeter-meter. Rahmat masih saja marah karena sudah ditipu oleh Arsad. Memang Rahmat adalah anak yang lumayan baik. Sangat hati-hati. Tidak mau mencela orang apalagi mencuri barang atau yang lainnya.
“Masi mara mat ?”. tanya Arsad sambil mengunya lembutnya daging nangka. “ngak,“ jawab Rahmat pendek. “udalah mat, jangan cemberut terus. Senyum donk !”. sahut Amir. “iya mat, ngapain juga difikir. Benarkan kata Arsad tadi, kalau yang punya pohon ental ini ngak bakal mengambil buahnya .” sahut Rasyid menyakinkan Rahmat.
“baiklah kalau gitu, sekarang kita mau ngapain ?”. tanyak Rahmat. “ terus nanti kalau yang punya pohon datang, terus kita ketahuan, gimana ?”. cecar Rahmat kepada teman-temannya.
“ santai sajalah lah mat, jalanan becek, sungai lagi deras. Ngak mungkin yang punya ke sini mat.” Arsad memberikan keterangan. “kamu tau ini milik siapa ?” Rahmat kembali bertanyak.
“Ah, kamu ini kayag wartawan saja mat, terlalu banyak tanyak”.. cecar Rasyid. “kalau ngak salah ini miliknya pak subari, kepala sekolah kita…!..” jawab Arsad. “ wadu, tamba bahaya lagi tuh kalau ketahuan pak subari”. Sahut Rahmat dengan wajah keget.
“Udah biar pak subarinya ngak keburu kesini kamu segera manjat aja !”. Amir memerintahkan temannya Rahmat untuk segera memanjat. “ ha…. Aku.. aku yang harus manjat ?”. sambil berdiri dari duduknya Rahmat kembali bertanyak kepada Amir. “ ya siapalagi yang manjat kan yang Cuma bisa manjat Cuma kamu”. Jawab Rasyid dengan cenggegesan sambil membersihkan sisa-sisa nangka yang terselip di antara gigi-giginya.
“hadu…..” guman Rahmat. “Aku lagi yang kenak” kata Rahmat.
Setelah ketiga temannya memaksa Rahmat untuk memanjat. Rahmat mulai berdiri dari tempat duduknya. Dan berjalan menuju pohon ental yang sudah mereka pilih yang berjarak lima belas meter sebelah timur gubung tempat mereka beristirahat.
Rahmat mulai melangkahkan kakinya. Dibelakangnya menyusul Arsad yang membawa karung, Amir yang membawa sabit, dan Rasyid yang tidak membawa apa-apa. Menyusuri jalanan kecil pemisa petak sawah, dengan rumput alang-alang kecil yang jika terinjak kaki, akan langsung menusuk bagai jarum yang mengencangkan dua kain yang robek.
“ kuat kamu mat, memanjat pohon ini?” tanya Rasyid dengan lugu. “tenang ajalah, uda biasa aku kalau urusan panjat memanjat”. Jawab Rahmat yang sekarang sudah lupa kalau dia mau mencuri buah ental milik kepala madrasahnya.
“bismillahirohmanirohim…” Rahmat memulai memanjat pohon ental yang tingginya sekitar 15 meter. Langkah demi langkah untuk mencapai puncak pohon. Kasarnya lapisan kulit pohon ental bersentuhan dengan kulit rapuhnya menjatuhkan butir-butir hitam kotoran pohon ental.
Setelah mencapai ketinggihan 8 meter, Rahmat mulai kehabisan tenaga. Diputuskannya istirahat di ketinggian sambil memegang erat batang ental yang diameternya sama dengan diameter tangannya.
Setelah beberapa saat beristirahat di atas pohon yang sama sekali tak berdahan itu, Rahmat memulai lagi untuk memanjat. Deru nafas terdangan sampai telingah para teman-temannya di bawah. Bulir buli kecut dan panas menetes dari atas. Baju yang suda kering sehabis basa karena menyebrangi sungai mulai membasah lagi.
Setelah mengeluarkan segenap tenaganya, Rahmat akhirnya sampai di bawah daun pertama dari pohon ental tersebut. dedaunan yang tua, yang biasanya digunakan untuk membuat timba yang digunakan para petani untuk menghujani tanaman-tanaman mereka yang sedang menenti curahan kesegara dari air di musim kemarau. Dan daun mudanya yang biasanya digunakan untuk membuat ketupat, makanan khas yang hampir selalu ditemui di rumah-rumah warga ketika hari lebaran idul fitri dan lebaran ketupa, enam hari setelah hari raya idul fitri.
Untuk mengambil buah ental, mengharuskan pemanjatnya untuk menyelah dedaunan kasar yang kuat tersebut. tantangan akan bertambah karena biasanya ketika sudah sampai atas, tenaga akan berkurang begitu banyak. Sehingga mengharuskan kehati-hatian yang exktra agar tidak jatuh dari tingginya pohon ental.
Karena pohon yang dipanjat Rahmat Nampak sudah lama tidak ada yang memanjatnya, terlihat dari daun-daun tua yang masih menggantung di tangkainya. Rahmat berinisiatif untuk membersihkannya satu persatu dengan cara menariknya dengan sekuat-kuatnya.
Dahan pertama berhasil ditariknya dan jatuh ke permukaan tanah. Dahan kedua ditariknya dengan lebih bertenaga lagi, dipelintirnya dahan itu ke kanan dan kekiri sambil sesekali menghentakkanya ke arah bawah dan akhirnya berhasil ia jatuhkan.
Namun hal buruk terjadi ketika masih ada satu dahan lagi yang menghalangi Rahmat untuk naik ke sela-sela dahan dedaunan pohon ental. Rahmatpun menariknya dengan sisa-sisa tenaga yang masih tersisa. Wal hasil, tajamnya dahan ental yang berbentu duri berjajar bagai gergaji menggorok paha bagian kanan Rahmat. Rahmat menjerit dengan sekeras-kerasnya. Dara mulai menetes ke tanah. Ke tiga temannya mulai panih Amir berlari ke gubung mencari kain bekas. Rasyid beranjak ke ara selatan mencari bekicot. Dan Arsad masih menunggu ke bawa untuk membantu Rahmat turun dari ketinggian 15 meter dengan kaki yang teriris gergaji dahan lontar. Dengan darah yang terus mengalir tiada henti, ibarat sebuah alcohol yang dikocog kemudian dibuka tutupnya.
Sambil berhati-hati sekali, Rahmat menuruni pohon ental dengan perasaan cemas dan takut. Sabar sekali. Sedikir demi sedikit kakinya diturunkan. Hingga mengapai pundak Arsad yang sudah menunggu dibawah.
“Hati-hati mat”. Arsad meberikan arahan. Sambil terus menanggir Rahmat mencoba menahan rasa sakitnya. Rasyid dari arah selatan membawa bekicot yang didapatnya di bawah semak-semak pohon pisang. Dengan berlari kecil dengan mimik cemas akan terjadi sesuatu terhadap sahabatnya Rahmat.
“ayo kita bawah ke gubug saja”. Usul Rasyid. “baiklah”. timpal Arsad. Dengan dibopong kedua sahabatnya, Rahmat di bawah ke gubug tempat mereka menghela nafas sebelum memanjat pohon ental tadi.
Sedangkan Amir yang dari pergi ke arah gubug untuk mencari kain bekas beranjak pergi kearah gubug yang berada di bawah rerimbunan bambu, dekat dengan sungai yang mereka sebrangi, karena di gubung pertama tidak ditemukan kain.
Ketika Amir sedang meneliti dangan pandangan tajamnya untuk menemukan kain di gubug tersebut, Amir mendengan suara sepeda motor di sebelah ujung sunggai. Maka dilihatlah siapa gerangan pemilik motor tersebut sambil mengendap-endap di rimbunnya bambu. Dengan pandanga awas, Amir mencoba mereka-reka. Sang pemilik motor dilihatnya dari kejahuan sedang mematikan motornya. Memarkirkannya dibawah pohon mangga yang tak berbuah.
Amir masih belum tahu siapa gerangan pemilik motor tersebut. Setelah si pemilik motor mengarah ke arah kali dan hendak menyebrang, Amir langsung panik, pasalnya orang yang sedang mengarah ke arahnya adalah pak subari, kepala Madrasah MI Muhammadiyah Sokorame, juga sekaligus pemilik pohon ental serta pohon nangka yang mereka curi. Tak terbayang bagaimana kelau sampai mereka ketahuan pak subari.
Dengan panik, Amir langsung tunggang langgan menuju gubug tempat Rahmat berbaring, dengan memegang kain lusuh yang didapatnya dari dubug sebelah.
Tanpa bersuarah sedikitpun, Amir langsung membungkus luka Rahmat dengan cekatan ibara seorang dokter spesialis beda yang sudah perna menangani ribuan pasien.
Sambil membungkus kaki Rahmat dengan cekatan, Amir mengabarkan dengan nada terputus-putus ibarat selesai dikejar setan, kalau pak subari, kepala Madrasah tempat mereka belajar sekaligus pemilik persawahan ini sedang menuju ke seni.
“cepat-cepat kata”. kata Arsad. “habislah kita kelau sampai ketahuan”. Sahut Rasyid.
Sekarang ayo kita bawa Rahmat pergi dengan cepat. “ Amir, kau sama aku memangkul Rahmat, dan kau Rasyid rapikan ini semua. Dan juga jangan lupa bawa sabitnya”. perinta Arsad bagai seorang komandan perang kepada bawahannya. “ oke, cepat kalian pergi dulu. Aku akan bereskan ini semua dulu”. Jawab Rasyid menurut.
Dengan sangat penik, Rahmat langsung dibopong oleh Amir dan Arsad menuju arah utara. Menjauh dari tempat pak subari menyebrang. Dengan sangat hati hati, sambil memegangi kain yang digunakan untuk membungkus kakinya, Rahmat memijat-mijat bagian kaki yang lainnya dengan harapan bisa mengurangi sedikit keperihan yang dirasakannya.
Tak peduli dengan rumput gajah yang tinggi dan gatal, yang nampak tidak perna dipotong, terlihat dari bunggahnya yang sudah nampak seperti ulat raksaksa, diterobosnya tanpa rasa takut sedikitpun.
Nafas Amir dan Arsad mulai putus-putus. Namun demi menyelamatkan diri mereka dari amukan pak subari, mereka akan mengorbankan segalannya.
Rasyid yang selesai membereskan gubug yang berantakan, langsung lari secepat singa yang mengejar kijang mengarah ke arah ketiga temannya lari.
Setelah menjauh dari persawahan pak subari sekitar seratu meter-an. Ke empatnya harus menyebrangi sunggai lagi karena tidak ada jembatan yang menghubungkan kedua bagian sunggai. Dengan arus yang masih sama dengan arus saat mereka menyebrang, Amir dan Arsad memutuskan untuk mengangkat Rahmat setinggi mungkin, sutinggi mungkin agar luka Rahmat tidak terkena air.
Dengan susah paya dan rasa panik yang masih mengendap di hati, akhirnya Arsad dan Amir yang mengangkat Rahmat berhasil menyebrang, disusul dengan Rasyid di belakangnya.
Tak tunggu lama, keempatnya langsung memutuskan untuk pulang tanpa banya percakapan yang terjadi. Sebelum pulang Arsad mengatakan kepada Rahmat “nanti kalau kamu ditanyak tentang lukamu, jawab saja jatu dari sepeda”. “baiklah”. jawab Rahmat dengan kesakitan.
Mulailah dikayu perdal sepeda mereka. Melesat maju ke arah desa, menyusuri rimbunan pepohonan yang hijau. Rahmat menarik nafas sedalam-dalamnya. Menghembuskannya sedikit demi sedikit. Sambil bergumang dalam hati “ kenapa ini semua terjadi, terjebak dalam tindakan kriminal pencurian, kemudian harus terluka dari atas pohon ental, kemudian harus berlarian menghindari pak subari, dan nanti belum berhadapa dengan bapak dan ibu yang pasti mengajukan berbagai pertanyaan kepadaku, haduu, nasib memang”.
Setelah bersepeda cukup melelahkan sampailah mereka di desa. Arsad membawa Rahmat ke kandang tempat ternak-ternaknya diinapkan terlebih dahulu. Mencoba untuk memperbaiki perban di kaki Rahmat. Sambil memberikan obat-obatan yang dibeli dari tokoh. Dengan teliti Arsad melepas perban Rahmat dan mengantinnya dengan yang baru. Sambil berucap kepada Rahmat “ Maafkan aku mat, gara-gara aku kamu jadi seperti ini”, dengan nada bersalahnya. “Biasa ajalah sad. Ngak apa-apa”, jawab Rahmat.
“nanti kamu ngasi alasan apa kepada bapak dan ibumu ?”, tanyak Rasyid. “ kukatakan saja kalau aku jatu dari sepeda dan kena pecahan kaca”. Jawab Rahmat dengan suara yakin kedua orang tuanya akan percaya.
Setelah semua selesai. Rasyid berpamitan untuk segera pulang. Begitupula Amir. “Kamu ngak mau aku antar mat ?”, Arsad menawarkan bantuannya ke Rahmat. “terima kasih sad, tapi ngak usah, nanti mala bapak dan ibu curiga lagi”. “oya kalo begitu. Nanti sepedaku yang aku parkir di penggung dekat rumahmu biar nanti malam saja aku mengambilnya”...
Rahmat pun pulang ke rumah. Beruntung karena ketika sampai di rumah bapak dan ibu nya sedang tidak ada di rumah. Rahmat memarkirkan sepedanya di depan rumah agar bapak dan ibunya tahu kalau dia suda pulang. Rahmat bergegas masuk rumah dan tidur di kamarnya. *CakHil.