Sisa-sisa hujan masi Nampak mengenang, membasahi jalanan yang terpadati oleh tumpukan batu-batu gunung yang terasa menyengat di siang hari dan terasa dingin di malam hari. Desa yang terleta hanya 20 kilo dari pantai utara jawa itu memang memberikan pesona alam yang menakjubkan. Rindangan pohon ental berjajar bagai para punggawa perang yang sulit untuk ditaklukkan. Sumber mata airnya mengalir deras bagai semangat besar untuk memberikan kehidupan sesamannya. Sungai timur desa yang selalu mengalir memberikan kehidupan bagi para petani dan sawah sawah hijau yang setahun dua kali penduduk memetik hasil dari buminya.
Pagi itu rahmat mencoba menelusuri genangan
-genangan becek di desa sokorame tersebut. mengarah ke pusat desa yang letaknya persis di depan masjid agung sokorame. Konon di situlah asal muasal nama desa itu muncul. Di depan masjid agung terdapat dua buah kolam pemandian yang airnya selau memberikan kenyamanan warganya. Kemarau datang tidak akan menjadi penghalang surutnya mata air tersebut.
Sendang wedok dan sendang lanang. Begitulah warga desa menyebutnya secara arif turun temurun dari para pendahulu. Soko yang berarti dari dan rame yang berarti bising atau sejenis hal yang menyenangkan. Dinamakan seperti itu karena dari mata air itulah warga menjadi senang.
Rahmat melangkahkan setapak demi setapak langkah kakinya menujuh sendang desa tersebut. diiringi dengan kicauan burung kutilang yang baru keluar dari peraduan untuk mencari bulir bebijian untuk anak-anaknya di sarang. Tak lama kemudian, rahmat bertemu dengan amir dan faisol. Teman sekalasnya di MI Muhammadiya Sokorame tempat rahmat belajar dan mencari bekal kehidupan.
“koen arep nandi ?” sahut amir dari atas jambu merah yang hampir tidak perna absen untuk berbuah. “ Aku arep dolanan nek sendang, ayo milu to ?” rahmat menjelaskan tujuannya sekalian mengajak amir yang sedang berada di atas pohon jambu lebat dan faisol yang berada di bawah pohon sembari memegan sebuah karung lusuh yang hampir tak berbentuk untuk menangkap dan mengumpulkan jambu-jambu merah merona itu.
“baikalah aku turun dulu”. Sahut amir dari atas jambu. “kebetulan sekali nanti kita bisa pesta jambuh di sendang !” sahut faisol dengan nada semringah dihiasi dengan lengkungan manis di pipih kanan dan kirinnya.
Ketiga boca usia Sembilan tahun itu dengan semangat memulai perjalanan menuju sendang desa yang jaraknya hanya tinggal 500 mater dari pohon jambu milik amir. Setelah lima belas menit berjalan sembari melantunkan lagu-lagu rakyat, seperti lir-ilir, gambang suling, bengawan solo, dan yang lainnya, tak terasa rahmat, amir, dan faisol sudah tiba di depan sebuah sendang penghidupan yang usianya suda ratusan tahun terbentuk itu.
Di sendang ternyata sudah banyak sekali anak-anak lainnya yang suda beriang memainkan air dan bercanda dengan teman-teman seusiannya.
“ayo ndang di garap sendange,” teriak amir sambil buka baju dan langsung menjeburkan ke sendang dengan gaya tendangan katak loncat dari atas pohon. Tak mau kalah, rahmat langusng menceburkan tanpa melepas bajunya setelah mengambil ancang-ancang untuk berlari kearah sendang.
Byur……… suara air yang berbenturan dengan badan rahmat. “koen gak milu njebur menisan ta sol…?. Amir bertanyak kepada temannya faisol. “ gak. Aku lagek flu, engko lek nyebur tambah parah” jawab Faisol dengan nada rendah karena tidak bisa bergabung dengan teman-temannya bermain air dan berenang di sendang yang tingginya setinggi leher anak usia 10 tahunan.
Setelah puas bermain. Tak terasa suara pak Hakim melengking memamerkan merdu suara adzannya dari dua buah speaker usang yang dibeli tiga tahun yang lalu dari iuran infaq warga sokorame, yang disandarkan pada dua buah bambu kuning yang Nampak sudah kecoklatan menandahkan tuannya usia bambu. Pak hakim adalah muadzin yang setiap hari rabo kliwon dan sabtu wage menjadi muadzin dan bersih bersih di masjid tanpa ada imbalan sepeserpun.
Rahmat, Amir dan anak-anak yang lainnya segera keluar dari sendang dan mengambil wudhu di blancuran, pusat mata air sendang. Setelah berwudhu, anak-anak sokorame segera mengganti pakain mereka dengan sarung-sarung yang sudah mereka bawa dari rumah dan menjemur pakaian-pakaian basa mereka di atas pohon ringin raksaksa yang ada di sebelah timur sendang desa yang usianya sudah ratusan tahun.
Semua anak termasuk Rahmat, Amir dan faisol bersiap siap untuk melaksanakan sholat. Sudah menjadi kebiasaan anak-anak sokorame untuk sholat berjamaah di masjid. Sebab setiap ahad wage, mereka akan mendapatkan bimbingan membaca Al Qu’ran dari pak subari, kepala sekolah MI Muhammadiyah sokorame.
Setelah sholat dzuhur selesai, pak subari memulai mengajar anak anak sokorame yang sangat kehausan ilmu membaca Al Quran itu, di serambi selatan masjid agung sokorame. Rahmat dan kedua temannya Nampak sangat bersemangat dalam belajar. Terlihat dari suara ketigannya yang sangat keras dibandingkan dengan suara anak-anak yang lainnya. Sebab semangat ketigannya yang besar itulah, ketigannya bisa membaca Al Qur’an hanya dalam waktu setenggah tahun. Berbanding terbalik dengan anak-anak lainnya yang membutuhkan waktu dua atau tiga tahun untuk menuntaskan buku iqrok mereka yang terdiri dari enam jidil.
“ le, awakmu kog iso moco Al Qur’an cuwepet koyog ngono ?, ungkap sutarkim kepada Rahmat yang sedang duduk di sudut utara serambi selatan dengan memegang sebuah Al Qur’an yang baru dibelinnya dari uang tabungannya selama tujuh bulan yang lalu.
“Embo kim, aku yo gak ngerti. Aku mek seneng wae iso moco Al Qu’an. Dadine yo aku semangat belajar iqro’ karo pak hakim tek iso nang iso moco Al Qur’an” jawa Rahmat dengan nada tawadhu’nya “oow, ngono ta “ sahut sutarmin dengan nada puas dibarengi dengan nada iri kepada Rahmat.
Hari itu suda semakin sore. Pak Hakim sudah mengumandangkan adzan asar. Anak-anak sokorame menutup buku iqro’ yang mereka dapatkan secara Cuma-Cuma dari pak ngasemo, orang terkaya di desa sokorame. Mereka meletakkan buku iqro’ mereka di sebuah lemari yang kayu-kayunya suda lapu dimakan rayap.
Sebagian anak langsung menata barisan sholat dan sebagian yang lain wudhu karena suda batal. Pak hakim mengumandangkan iqomah dan pak subari suda menuju tempat imam yang dibuat agak tinggi lima senti dari tempat makmum berdiri. Setelah sholat selesai anak-anak sokoreme akan pulang kerumah masing-masing dan tidak bermain lagi. Sebab sudah menjadi keyakinan turun temurun bahwa anak-anak di usia 17 tahun ke bawah dilarang untuk keluyuran karena takut akan terjadi apa-apa.
Karena keyakinan yang kuat itu, biasanya anak-anak sokorame akan mengunakan waktu sorenya untuk mengulang pelajaran sekolah mereka. Sehingga kebanyakan dari anak-anak sokorame terkenal pandai dan cerdas. By*Chap